Aku ingin memanggilnya
bunda, yang kedengarannya lebih ramah, sopan, dan menyejukkan. Tapi sayang, aku
tak mengenal istilah bunda, ibu, mama, mom, apalagi mami. Aku terlahir mungkin
bukan dari golongan elite, sehingga panggilan “amak” lebih cocok untuk kusandang
daripada panggilan lainnya. (Ingat, dengan penekanan “k” besar layaknya orang
minang, bukan “k” orang sunda). Semuanya akan jauh berbeda kalau saja panggilan
lain yang dapat tersematkan kepada sang pemilik Ridho Allah ini.
Pernah suatu
saat aku menanyakan, “kenapa harus dengan sapaan amak, mak? Kenapa tidak bunda
atau mama layaknya yang lain?”. Itu bukan pertanyaan penasaran, lebih tepatnya
adalah pertanyaan yang dapat menghasilkan perubahan. Kuakui, aku dahulunya malu
dengan sapaan seperti itu, mungkin salah satu faktornya adalah terdengar asing
karena berbeda dari yang lain atau mungkin karena terdengar agak sedikit
“kampungan”, entahlah aku tak tahu pasti, namanya juga pemikiran waktu kecil.
Begitu banyak biografi
orang-orang besar yang telah selesai aku baca sejak aku berada di bangku SMP,
dan dari sanalah aku mulai menghargai kata amak yang meluncur dari bibirku. Tahukah
kamu Buya Hamka? Chaerul Tanjung si Anak Singkong? Penulis buku 5 Menara? ternyata
mereka semua memanggil ibunya dengan sebutan “amak”. Aku awalnya sangat kaget
menerima kebenaran itu, tapi setelah itu aku sangatlah senang karena bisa
disejajarkan dengan orang-orang sukses lagi besar dari Indonesia ini. Keyakinanku
bahwa panggilan itu diniatkan salah satunya agar aku sukses ke depannya. Aamiin.
Aku mulai mengenal amak ketika aku masuk dunia
kampus. Disitulah aku mulai keep in touch dengan beliau. Pada masa boarding
school, interaksi dengan amak sangatlah renggang sehingga terasa ada gap
diantara kami. Masa SD jangan ditanya, otomatis itu adalah masa pembangkangan
yang notabene membuatku jauh dengan amak. Jujur, aku menyesal kenapa tak sedari
dulu pendekatan ini berlangsung. Mungkin aku terlalu banyak menonton
adegan-adegan FTV yang mana ibu layaknya teman bagi mereka, sehingga aku hanya
bisa berangan-angan. Tapi aku tahu, didalam lubuk hatinya ia sangat
menyayangiku, aku yakin itu. Tetapi, kenapa
masa berbakti ini tidak dari dulu aku praktekkan secara riil? dan hanya hening
yang bisa aku rasakan, karena waktu memang tidak bisa diputar.
Ibu dalam islam sangatlah
dijunjung dan tentunya aku berusaha dengan caraku menghormati serta menjunjung kedua orang tuaku
terutama amakku, kuakui aku tak pernah merasakan kedekatan yang sangat super
dekatnya dengan amakku, entah kenapa aku tak tahu. Mungkin dari kecil kami
memang tak diajari manja, tapi bukan berarti kami individual hanya saja terasa
dekat fisik tapi jauh bathin. Aku sadari mungkin aku yang tak terlalu
mendekatkan diri, tapi memang begitu adanya, mengucapkan kata “rindu”, “sayang”,
“maaf”, dst. merupakan hal yang tabu bagi keluargaku, aku berasumsi mungkin terlalu
melankolis atau mungkin terlalu to the point juga. Apabila ada salah
satu diantara kami berucap seperti itu, pasti jawabannya dingin atau terdengar
tak bergairah untuk memberikan feed back dari jawaban tersebut. Sedih memang,
tapi itulah adanya.
Jujur, aku tidak pernah
menulis tentang amak sebelumnya, ajang menulis ini sangat membantuku untuk
mengutarakan uneg-unegku yang telah tersimpan selama ini. Semoga dengan adanya
tulisan ini amak bisa berubah menjadi seseorang yang berkepribadian lebih baik
seperti yang anaknya harapkan. Amak selalu memantauku lewat tulisanku (tumblr,
facebook, twitter, dll), semoga amak sempat untuk membaca tulisanku. Begitu balik
ke rumah aku berharap suasana rumah lebih penuh dengan kecintaan ataupun kasih
sayang yang lebih terbuka, aku tahu amak punya rasa cinta yang dalam kepada
kami, hanya saja beliau tak bisa menumpahkannya dalam bentuk kata-kata.