to sharing, learning and exploring my mind about something



Selasa, 10 Februari 2015

Bergelimang Dosakah Ibukotaku... ??

       Jakarta lebih terkenal dengan masalahnya daripada kemajuannya, mulai dari macet, banjir, perumahan kumuh, pengangguran, tingkat kriminalitas yang tinggi, pemakaian obat-obatan terlarang, dsb. Sebagai rakyat Indonesia, tentunya aku merasa sedih atas semua itu, Jakarta yang notabene adalah ibukota sendiri ternyata disitu pula sarangnya “keburukan”, secara tidak langsung pasti orang luar berpikir ibukota sendiri saja tidak beres, bagaimana dengan kota-kota lainnya. Miris :(

       Itu memang sudah menjadi hal yang biasa, tapi apakah tidak pernah terlintas di benak para pemegang amanah ini untuk memikirkan solusi atas bencana-bencana tsb. ?? aku tak akan menyalahkan pejabat sepenuhnya, karena aku tahu mereka tak sepenuhnya bersalah, mungkin ada juga oknum masyarakat yang tak mau bekerjasama dengan program pemerintah yang mana bertujuan agar terwujudnya ibukota yang tentram dan damai. 
  
      Hujan sudah mengguyur Jakarta selama lebih kurang tiga hari yang lalu, tapi itu sangat membawa dampak yang besar bagi ibukota negara ini.  Bagaimana tidak, drainase yang buruk menyebabkan banjir di berbagai wilayah, rakyat yang tak bersalah kadang mejadi korbannya. Kita tidak pula bisa menyalahkan hujan, karena hujan fitrahnya adalah “Rahmat”. Tapi kenapa yang seharusnya menjadi rahmat malah menjadi malapetaka bagi sebagiannya ??   
  
      Bukankah ada ayat yang mengatakan, “ Dan apa saja musibah yang menimpa kamu maka adalah karena perbuatan tanganmu sendiri, dan Allah memaafkan sebagian besar (dari kesalahan-kesalahanmu)” -QS. Asy-Syura 42: 30-

     Berarti tidaklah bencana turun melainkan karena dosa ?? Mari kita bersama-sama memperbanyak istighfar dan semoga kita tidak termasuk ke dalam gol. orang-orang yang berbuat dosa dan kerusakan, tetapi termasuk ke dalam gol. orang-orang yang memakmurkan bumiNya Allah yang sesuai dengan -QS. Hud 11: 61-  aamiin

Sabtu, 07 Februari 2015

Ketika Kita Mengeluh...

Terkadang tanpa kita sadari, perkataan ini sering sekali keluar dari lisan yang ceplas-ceplos ini. dan kita tak menyadari bahwasanya ALLAH telah menjawab segala keluh kesah yang terlontar dari lisan manusia tsb.

Ketika kita mengeluh, “Ah mana mungkin...”
Allah menjawab: “Jika AKU menghendaki, cukup AKU berkata “Jadi”, maka jadilah” (QS. Yasin: 82) 

Ketika kita mengeluh, “Wah, letih sekali...”
Allah menjawab: “...dan KAMI jadikan tidurmu untuk istirahat” (QS. An-Naba: 9) 

Ketika kita mengeluh, “Berat sekali ya, gak sanggup rasanya...”
Allah menjawab: “AKU tidak membebani seseorang, melainkan sesuai dgn kesanggupannya” (QS. Al-Baqarah: 286) 

Ketika kita mengeluh, “Strees nih, binguung...”
Allah menjawab: “Hanya dengan mengingatKU hati akan menjadi tenang” (QS. Ar-Ra’du: 28) 

Ketika kita mengeluh, “Yah, ini mah bakal sia-sia aja...”
Allah menjawab: “Siapa yg mengerjakan kebaikan sebesar biji dzarrahpun, niscaya ia akan melihat balasannya” (QS. Al-Zalzalah: 7) 

Ketika kita mengeluh, “Saya sendirian, tidak ada seorangpun yg mau membantu...”
Allah menjawab: “Berdoalah (mintalah) kpd Ku, niscaya AKU kabulkan untukmu” (QS. Al-Mukmin: 60) 

Ketika kita mengeluh, “Sedih kali rasanya...”
Allah menjawab: “La Tahzan, Innallaha Ma’ana. Janganlah kamu bersedih, sesungguhnya ALLAH beserta kita” (QS. At-Taubah: 40) 

Ketika kita mengeluh, “Ampun, susah banget ini kerjaan...”
Allah menjawab: “Sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan” (QS. Al-Insyirah: 6-7) 

     Semoga dari muhasabah diatas, semoga kita bisa lebih banyak bersyukur dan menjauhkan diri dari ucapan yang tanpa kita sadari telah membuat kita jauh dariNya_

Sabtu, 31 Januari 2015

Bundaku hilang dalam angan-angan

     Aku ingin memanggilnya bunda, yang kedengarannya lebih ramah, sopan, dan menyejukkan. Tapi sayang, aku tak mengenal istilah bunda, ibu, mama, mom, apalagi mami. Aku terlahir mungkin bukan dari golongan elite, sehingga panggilan “amak” lebih cocok untuk kusandang daripada panggilan lainnya. (Ingat, dengan penekanan “k” besar layaknya orang minang, bukan “k” orang sunda). Semuanya akan jauh berbeda kalau saja panggilan lain yang dapat tersematkan kepada sang pemilik Ridho Allah ini. 
     Pernah suatu saat aku menanyakan, “kenapa harus dengan sapaan amak, mak? Kenapa tidak bunda atau mama layaknya yang lain?”. Itu bukan pertanyaan penasaran, lebih tepatnya adalah pertanyaan yang dapat menghasilkan perubahan. Kuakui, aku dahulunya malu dengan sapaan seperti itu, mungkin salah satu faktornya adalah terdengar asing karena berbeda dari yang lain atau mungkin karena terdengar agak sedikit “kampungan”, entahlah aku tak tahu pasti, namanya juga pemikiran waktu kecil.
     Begitu banyak biografi orang-orang besar yang telah selesai aku baca sejak aku berada di bangku SMP, dan dari sanalah aku mulai menghargai kata amak yang meluncur dari bibirku. Tahukah kamu Buya Hamka? Chaerul Tanjung si Anak Singkong? Penulis buku 5 Menara? ternyata mereka semua memanggil ibunya dengan sebutan “amak”. Aku awalnya sangat kaget menerima kebenaran itu, tapi setelah itu aku sangatlah senang karena bisa disejajarkan dengan orang-orang sukses lagi besar dari Indonesia ini. Keyakinanku bahwa panggilan itu diniatkan salah satunya agar aku sukses ke depannya. Aamiin.
     Aku mulai mengenal amak ketika aku masuk dunia kampus. Disitulah aku mulai keep in touch dengan beliau. Pada masa boarding school, interaksi dengan amak sangatlah renggang sehingga terasa ada gap diantara kami. Masa SD jangan ditanya, otomatis itu adalah masa pembangkangan yang notabene membuatku jauh dengan amak. Jujur, aku menyesal kenapa tak sedari dulu pendekatan ini berlangsung. Mungkin aku terlalu banyak menonton adegan-adegan FTV yang mana ibu layaknya teman bagi mereka, sehingga aku hanya bisa berangan-angan. Tapi aku tahu, didalam lubuk hatinya ia sangat menyayangiku, aku yakin itu. Tetapi,  kenapa masa berbakti ini tidak dari dulu aku praktekkan secara riil? dan hanya hening yang bisa aku rasakan, karena waktu memang tidak bisa diputar.
     Ibu dalam islam sangatlah dijunjung dan tentunya aku berusaha dengan caraku menghormati serta menjunjung kedua orang tuaku terutama amakku, kuakui aku tak pernah merasakan kedekatan yang sangat super dekatnya dengan amakku, entah kenapa aku tak tahu. Mungkin dari kecil kami memang tak diajari manja, tapi bukan berarti kami individual hanya saja terasa dekat fisik tapi jauh bathin. Aku sadari mungkin aku yang tak terlalu mendekatkan diri, tapi memang begitu adanya, mengucapkan kata “rindu”, “sayang”, “maaf”, dst. merupakan hal yang tabu bagi keluargaku, aku berasumsi mungkin terlalu melankolis atau mungkin terlalu to the point juga. Apabila ada salah satu diantara kami berucap seperti itu, pasti jawabannya dingin atau terdengar tak bergairah untuk memberikan feed back dari jawaban tersebut. Sedih memang, tapi itulah adanya.
     Jujur, aku tidak pernah menulis tentang amak sebelumnya, ajang menulis ini sangat membantuku untuk mengutarakan uneg-unegku yang telah tersimpan selama ini. Semoga dengan adanya tulisan ini amak bisa berubah menjadi seseorang yang berkepribadian lebih baik seperti yang anaknya harapkan. Amak selalu memantauku lewat tulisanku (tumblr, facebook, twitter, dll), semoga amak sempat untuk membaca tulisanku. Begitu balik ke rumah aku berharap suasana rumah lebih penuh dengan kecintaan ataupun kasih sayang yang lebih terbuka, aku tahu amak punya rasa cinta yang dalam kepada kami, hanya saja beliau tak bisa menumpahkannya dalam bentuk kata-kata.
     Tulisan ini disertakan dalam kegiatan Nulis Bareng Ibu. Tulisan lainnya dapat diakses di website http://nulisbarengibu.com