to sharing, learning and exploring my mind about something



Sabtu, 31 Januari 2015

Bundaku hilang dalam angan-angan

     Aku ingin memanggilnya bunda, yang kedengarannya lebih ramah, sopan, dan menyejukkan. Tapi sayang, aku tak mengenal istilah bunda, ibu, mama, mom, apalagi mami. Aku terlahir mungkin bukan dari golongan elite, sehingga panggilan “amak” lebih cocok untuk kusandang daripada panggilan lainnya. (Ingat, dengan penekanan “k” besar layaknya orang minang, bukan “k” orang sunda). Semuanya akan jauh berbeda kalau saja panggilan lain yang dapat tersematkan kepada sang pemilik Ridho Allah ini. 
     Pernah suatu saat aku menanyakan, “kenapa harus dengan sapaan amak, mak? Kenapa tidak bunda atau mama layaknya yang lain?”. Itu bukan pertanyaan penasaran, lebih tepatnya adalah pertanyaan yang dapat menghasilkan perubahan. Kuakui, aku dahulunya malu dengan sapaan seperti itu, mungkin salah satu faktornya adalah terdengar asing karena berbeda dari yang lain atau mungkin karena terdengar agak sedikit “kampungan”, entahlah aku tak tahu pasti, namanya juga pemikiran waktu kecil.
     Begitu banyak biografi orang-orang besar yang telah selesai aku baca sejak aku berada di bangku SMP, dan dari sanalah aku mulai menghargai kata amak yang meluncur dari bibirku. Tahukah kamu Buya Hamka? Chaerul Tanjung si Anak Singkong? Penulis buku 5 Menara? ternyata mereka semua memanggil ibunya dengan sebutan “amak”. Aku awalnya sangat kaget menerima kebenaran itu, tapi setelah itu aku sangatlah senang karena bisa disejajarkan dengan orang-orang sukses lagi besar dari Indonesia ini. Keyakinanku bahwa panggilan itu diniatkan salah satunya agar aku sukses ke depannya. Aamiin.
     Aku mulai mengenal amak ketika aku masuk dunia kampus. Disitulah aku mulai keep in touch dengan beliau. Pada masa boarding school, interaksi dengan amak sangatlah renggang sehingga terasa ada gap diantara kami. Masa SD jangan ditanya, otomatis itu adalah masa pembangkangan yang notabene membuatku jauh dengan amak. Jujur, aku menyesal kenapa tak sedari dulu pendekatan ini berlangsung. Mungkin aku terlalu banyak menonton adegan-adegan FTV yang mana ibu layaknya teman bagi mereka, sehingga aku hanya bisa berangan-angan. Tapi aku tahu, didalam lubuk hatinya ia sangat menyayangiku, aku yakin itu. Tetapi,  kenapa masa berbakti ini tidak dari dulu aku praktekkan secara riil? dan hanya hening yang bisa aku rasakan, karena waktu memang tidak bisa diputar.
     Ibu dalam islam sangatlah dijunjung dan tentunya aku berusaha dengan caraku menghormati serta menjunjung kedua orang tuaku terutama amakku, kuakui aku tak pernah merasakan kedekatan yang sangat super dekatnya dengan amakku, entah kenapa aku tak tahu. Mungkin dari kecil kami memang tak diajari manja, tapi bukan berarti kami individual hanya saja terasa dekat fisik tapi jauh bathin. Aku sadari mungkin aku yang tak terlalu mendekatkan diri, tapi memang begitu adanya, mengucapkan kata “rindu”, “sayang”, “maaf”, dst. merupakan hal yang tabu bagi keluargaku, aku berasumsi mungkin terlalu melankolis atau mungkin terlalu to the point juga. Apabila ada salah satu diantara kami berucap seperti itu, pasti jawabannya dingin atau terdengar tak bergairah untuk memberikan feed back dari jawaban tersebut. Sedih memang, tapi itulah adanya.
     Jujur, aku tidak pernah menulis tentang amak sebelumnya, ajang menulis ini sangat membantuku untuk mengutarakan uneg-unegku yang telah tersimpan selama ini. Semoga dengan adanya tulisan ini amak bisa berubah menjadi seseorang yang berkepribadian lebih baik seperti yang anaknya harapkan. Amak selalu memantauku lewat tulisanku (tumblr, facebook, twitter, dll), semoga amak sempat untuk membaca tulisanku. Begitu balik ke rumah aku berharap suasana rumah lebih penuh dengan kecintaan ataupun kasih sayang yang lebih terbuka, aku tahu amak punya rasa cinta yang dalam kepada kami, hanya saja beliau tak bisa menumpahkannya dalam bentuk kata-kata.
     Tulisan ini disertakan dalam kegiatan Nulis Bareng Ibu. Tulisan lainnya dapat diakses di website http://nulisbarengibu.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar